Macapat Malangan merupakan seni membaca cerita
yang dilakukan dan memiliki beberapa macam cerita, di antaranya yaitu Layang
Amad Mukamad yang berkisah tentang cerita Amad dan Mukamad yang dituduh mencuri
makanan dan dikejar oleh juragannya. Dalam pembacaan cerita ini kadang
diselingi dengan guyonan (canda) dari para pembaca ketika menceritakan dialog
yang terjadi dalam cerita itu. Cerita yang lain adalah Layang Yusuf yang
memiliki alur cerita hampir sama dengan kisah Nabi Yusuf dalam Agama Islam.
Cerita ini sering dibacakan dalam acara selamatan (pesta masyarakat untuk
memanjatkan doa ) menempati rumah baru atau memiliki anggota baru. Pada saat
ini kesenian Macapat Malangan masih dapat kita jumpai di Desa Glagah Dowo,
Kecamatan Tumpang.
Tembang macapat Malangan adalah tembang macapat
yang memiliki ciri khas cengkok khas Malangan. Di setiap daerah tembang macapat
memiliki ciri khas tersendiri antara lain Metaraman, Semarangan, Majapaitan,
Gresikan, Tengger, dan Malangan. Tetapi tidak semua tembang macapat di Malang
disebut Malangan. Ciri-ciri yang membedakan yaitu cengkoknya. Di mana saja
ditembangkan, bila tiap cengkok dan lafal pengucapan kata-katanya dikenali dari
Malang, tembang itu bisa disebut Macapat Malangan.
Tembang Macapat Malangan berkembang di daerah
pedesaan, muncul dari kesenian rakyat yang bersifat lugu dan apa adanya.
Tembang Macapat Malangan ini juga bersifat kebersamaan, dekat sekali dengan
masyarakat dan sangat komunikatif. Macapat Malangan biasanya diperdengarkan
saat tidur-tiduran, menjaga bayi dan lain-lain. Selain itu Macapat Malangan
juga sebagai ilmu pengetahuan, tuntunan, dan untuk melestarikan bahasa dan
sastra Jawa.
Aturan dan ciri-ciri Macapat Malangan yaitu:
1. Tata aturan umum pada bait, yaitu guru gatra : jumlah gatra
(baris) di tiap bait. Guru wilangan yaitu jumlah suku kata di tiap gatra,
dan guru lagu (swara) yaitu bunyi vokal di setiap akhir bait. Guru
lagu dan guru wilangan tembang macapat malangan harus
diperhatikan. Karena tidak jarang guru wilangan ditambah atau
dikurangi, bahkan ada gatra yang ditambah senggakan, contohnya aauu,
auan, ii, dan lain-lain. Selain itu juga guru lagunya sering kemudian
tidak sama dengan tata aturan tembang macapat yang sudah umum. Yang perlu
diperhatikan, sebelum belajar guru gatra, guru wilangan, dan guru
lagu macapat malangan harus sudah mengerti aturan pokok tembang macapat.
Agar dapat diketahui aturan baku dan aturan yang tak baku.2. Memiliki cengkok yang jelas sekali perbedaannya. Hal itu terjadi karena terpengaruh dari lingkungan sosial budaya masyarakatnya.
3. Lafal pengucapan kata yang menunjukkan dialek khas bahasa Malangan, yang umumnya hampir mirip dengan bahasa Surabayan. Misalnya saja pengucapan kata wurung menjadi wUrUng, grimis diucapkan grImIs dan lain-lain.
Tembang sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu
rasaning basa (sastra) dan rasaning swara (lagu). Letak keindahan swara atau
lagu itu berdasarkan tangga nada dan tergantung dari luk, gregel,
dan cengkok. Cara menempatkan luk, gregel, dan cengkok
tidak terikat dalam tata aturan tetapi tergantung dengan orang yang
menembangkan. Gregel yaitu lekuk-lekuk suara yang berlangsung sebentar.
Luk yaitu lekuk-lekuk suara yang agak panjang. Sedangkan
cengkok yaitu lekuk-lekuk suara untuk melagukan tembang menurut perasaan
yang menembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar